Blogger Widgets

Minggu, 11 Januari 2015

Tradisi Mendhem Ari-ari



Mendhem ari-ari
Mendhem ari-ari iku salah sijining upacara kelairan sing umum diselenggarakake malah uga ana ning dhaerah-dhaerah (suku-suku) liya.Ari-ari iku perangan penghubung antara ibu lan bayi wektu bayi isih ning njero rahim. Istilah liya kanggo ari-ari yaiku:aruman utawa  embing embimg
Ing jawa ana kapercayaan sedulur papat, kakang kawah adhi ari-ari, ibu bumi, bapa angkasa. wong jawa percaya yen ari-ari iku sejatine salah siji sadulur papat utawa sadulur kembar si bayi mulane ari-ari kudu dirawat lan dijaga umpamane enggon kanggo mendhem ari-ari iku diwenehi lampu (umume sentir) kanggo penerangan, iki dadi simbol "pepadhang" kanggo bayi. Senthir iki dinyalakake nganti 35 dina (selapan).
Tata cara
Ari-ari dikumbah nganti resik dilebokake ning  kendhi utawa bathok kelapa. Sadurunge ari-ari dilebokake, alas kendhi diwenehi godhong senthe banjur kendhine ditutup nganggo lemper sing isih anyar lan dibungkus kain mori. Kendhi banjur digendhong, dipayungi, digawa ning papan penguburan. Papan penguburan kendhi kudu ning sisih tengen pintu utama omah.
Sing mendhem kendhi kudhu bapak kandung bayi.

Upacara Adat Suran Jomboleka

Upacara Adat Suran Jomboleka

a. Sejarah Arya Kusuma Jomboleka

Di Dusun Talpitu Desa Ngemplak Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar terdapat makam Arya Kusuma Jomboleko yang masih keturunan Prabu Brawijaya V raja Majapahit terakhir. Belum banyak yang mengetahui akan keberadaan makam tersebut. Bahkan sejarah adanya makam tersebut juga belum banyak diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar.Dari sejarah yang ada, di dekat Pulau Madura ada pulau kecil bernama Pulau Sapudi. Penguasa pulau tersebut mempunyai seorang puteri yang bernama Rara Supadi (nama Rara Supadi ini sampai sekarang juga belum diketahui nama aslinya, hanya kemungkinan nama Rara Supadi diambil dari nama pulau asalnya). Rara Supadi diperisteri Prabu Brawijaya V, mempunyai keturunan yang diberi nama Arya Kusuma / Arya Leka / Arya Pekik. Arya Leka berparas sangat tampan seperti ayahnya, setelah dewasa beliau menjadi menantu Adipati Jaran Panole I di Madura. Setelah mertuanya meninggal di Madura, Arya Leka kemudian dinobatkan menjadi Bupati di Sumenep Madura. Beliau menjadi pemimpin perang dan bergelar seperti mertuanya dengan sesebutan JARAN PANOLE SUMENEP. Arya Leka ditetapkan menjadi pemimpin prajurit kapal milik Prabu Brawiaya.

Akhir peperangan antara Demak Bintara dengan Majapahit karena terdesaknya Pengaruh agama Islam di Jawa, Jaran Panole II (Arya Leka) meninggalkan kerajaan Majapahit pergi sampai di kaki Gunung Lawu sebelah barat di bukit/puntuk kecil kemudian bernama Arya Jabal Leka. Orang Jawa menyebut Arya Jambal Leka. Jabal artinya gunung atau bukit. Jabaleka artinya Gunung Leka, yang mana Arya Leka tinggal di tempat tersebut sampai meninggal dan dimakamkan di Jabaleka. Jaman dahulu ada yang menyebut Redi Dumilah, tetapi bukan Redi Dumilah di Puncak Gunung Lawu. Jabaleka atau Redi Dumilah dulu diberi tanaman Pohon Tal (Siwalan) berjumlah tujuh. Dari kejadian tersebut sampai sekarang tempat itu bernama JABALEKA atau DUSUN TALPITU. Di Makam Jomboleka selain Arya Kusuma yang berada di tempat tersebut Istrinya yaitu Retno Kuning dan kerabatnya. Beliau cikal bakal dusun tersebut dan oleh masyarakat setempat masih dikeramatkan keberadaanya, pada hari-hari tertentu yaitu malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon banyak Peziarah dari luar daerah yang datang untuk tirakat, menyepi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keadaan Punden / makam sampai sekarang di kelilingi pohon dan tumbuhan yang langka misalnya : pohon aren, keningar, sono keling, mahoni, kemuning dan lain-lain. Awal mula makam tersebut dibangun sekitar tahun 1986 oleh Ibu Nur dari Jawa Timur, dari tahun ke tahun oleh Peziarah membuat bangunan gapura masuk lokasi halaman makam dan sekitar tahun 2005 sebelah timur, di pugar lagi oleh Ibu Dewi dari Jakarta dengan bentuk bangunan Joglo. Pada tahun 2007 mendapatkan APBD dari Kabupaten Karanganyar untuk membuat talud pengamanan tanah dan bangunan.

b. Sejarah terjadinya Upacara Adat Suran Jomboleko .

Setiap pergantian tahun Jawa tepatnya awal bulan Suro yaitu tanggal 1 s/d 3 Suro masyarakat mengadakan kegitana ritual di Punden Jombaleko. Ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan 3 hari berturut-turut oleh masyarakat Dukuh Ngledok, Ngablak dan Talpitu. Pada malam harinya juga diadakan tirakatan sebulan penuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan para Peziarah dari luar daerah.  Jalanya Upacara Adat Suran :
Sore hari menjelang waktu Magrib pelakasanaan ritual, tokoh masayarakat dan Juru Kunci telah menyanggarkan kendi berjumlah tujuh (7) yang berisi air sumur setempat untuk di semayamkan di makam Arya Kusuma.
Pagi harinya warga telah kambing di area punden, hewan yang di sembelih tidak boleh cacat dan harus Kambing kendit yaitu berbulu hitam dan begaris putih di badannya. Masakan yang untuk sesaji tidak boleh di cicipi dan yang masak tidak boleh dalam keadaan datang bulan (menstruasi).
Siang hari sekitar jam 10.00 WIB, masyarakat berbondong-bondong datang di tempat dengan membawa sesaji komplit yang diletakakan dalam encek ( Jawa : anyaman yang dibuat dari bambu )
Ritual Tumuruning Toya Wening, yaitu air kendi yang berjumlah tujuh yang mempunyai makna sendiri-sendiri untuk dibagikan kepada masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa air tersebut membawa berkah dan dijauhkan dari bencana.
Kemudian dilakukan Doa bersama dipimpin oleh Kepala Dusun setempat.
Setelah selesai do’a, makanan kenduri dibagi-bagi termasuk kepada peziarah yang datang untuk dimakan bersama-sama.
Sebagai penutup, biasanya dilanjutkan dengan sebaran Udhik-udhik yang diperebutkan oleh masyarakat yang datang, makna yang tersirat semoga masyarakata diberikan rejeki yang melimpah.

Pelaksanaan Upacara adat biasanya di dukung oleh para budayawan, Pametri Budaya, HARPI Melati Karangpandan, Pemerintah setempat dan dilakukan Kirab Prajurit Majapahit atau Arya Kuisuman dengan Pakaian Ngliga dan Senjata Bambu Runcing.
 Menurut sesepuh dusun, tempat tersebut dahulu adalah tempat untuk persembunyian masyarakat setempat karena kedatangan para penjajah Belanda yang sampai di wilayah Karangpandan dan Matesih. Masyarakat merasa di lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa pada waktu itu, maka oleh penduduk setempat sampai sekarang punden Jambaleko masih keramat dan dianggap membawa berkah, sehingga banyak peziarah yang datang baik dari daerah Karanganyar sendiri maupun dari luar daerah, bahkan dari luar pulau Jawa juga ada yang berziarah kemakam ini.

Sumber : http://tradisibudaya.blogspot.com/2012/11/upacara-adat-suran-jomboleka.html

Rabu, 07 Januari 2015

Tari Bondan

Tari Bondan
Tari Bondan adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. seorang anak wanita dengan menggendong boneka mainan dan payung terbuka, menari dengan hati-hati di atas kendi yang diinjak dan tidak boleh pecah. Tarian ini melambangkan seorang ibu yang menjaga anak-anaknya dengan hati-hati.
Tari ini dibagi menjadi 3, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Mardisiwi, dan Bondan Pegunungan/ Tani. Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi melambangkan seorang ibu yang menjaga anaknya yang baru lahir dengan hati-hati dan dengan rasa kasih sayang . Tapi Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.
Di tahun 1960an, Tari Bondan adalah tari unggulan atau tari wajib bagi perempuan-perempuan cantik untuk menunjukkan siapa jati dirinya. Hampir semua penari Tari Bondan adalah kembang kampung. Tari Bondan ini juga paling sulit ditarikan karena sambil menggendong boneka, si penari harus siap-siap naik di atas kendi yang berputar sambil memutar-mutarkan payung kertasnya. Penari Tari Bondan biasanya menampilkan Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi memakai kain Wiron, memakai Jamang, baju kutang, memakai sanggul, menggendong boneka, memanggul payung, dan membawa kendhi. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing.
Ciri tarian :yaitu mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan membawa alat pertanian. Bentuk tariannya pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo atau Mardisiwi.

Sumber : http://taritarian.wordpress.com/2012/11/20/macam-macam-tarian-di-jawa-tengah-jateng/

Tari Gambyong

Tari Gambyong
Tari Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang dan gending.
Instrumen : gender, kendang, kenong, kempul, dan gong
Perkembangan : Awal mula istilah Gambying tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek.
Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.
Penari ini juga dsiebutkan dalam buku “Cariyos Lelampahanipun” karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemnahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Gerak tari
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan
dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi
dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis.
Sebagai contoh , pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil),
nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan
diletakkan di depan kaki kiri, kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak
kaki tetap merapat ke lanati). Gerak kaki yang spsifik pada tari Gambyong adalah gerak embat
atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas.
Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangklaian gerak,
yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya.
Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singket ukel karana, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan
(sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).

Sumber : http://taritarian.wordpress.com/2012/11/20/macam-macam-tarian-di-jawa-tengah-jateng/

Tari Bedhaya



Tari Bedhaya
Tarian ini bertemakan percintaan.
Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).
Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih beta diri.
Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak Tari : sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
Jenis Instrumen : Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong
(gemelan laras pelog, tanpa keprak).

Sumber : http://taritarian.wordpress.com/2012/11/20/macam-macam-tarian-di-jawa-tengah-jateng/

Widyamakna


      Widyamakna
Manut owah gingsire lan ngrembakane tembung, njalari tembung uga katut owah gingsir lan ngrembaka. Ing antarane ana tembung kang tegese dadi mingkus utawa ana uga tembung kang tegese dadi melar.
Tuladha :
a.       Teges mingkus
1)      Mau bengi ibu sowan menyang daleme kyai Sholikhin.
2)      Adhiku saiki wis lulus sarjana elektro.
3)      Berlin kuwi sekolahane ing madrasah cedak omahe.
4)      Soni melu lelayaran bapake nalika liburan sekolah.


Tembung
Teges Sekawit
Teges Saiki
Kyai
Kabeh wong kang dianggap sekti
Wong kang ahli agama Islam
Sarjana
Kabeh wong pinter
Jeneng gelar tumrap wong kang wis lulus sinaune ing perguruan tinggi
Madrasah
Kabeh sekolah
Sekolah mligi kanggo bocah-bocah muslim
Lelayaran
Numpak prau sing nganggo layar
Numpak prau sing nganggo mesin

b.      Teges melar / amba
1)      Mangga bapak pinarak rumiyin. Kula tak madosi bapak sekedhap.
2)      Sedulur-sedulur piye yen mengko bali sekolah padha tilik Bu Guru?
3)      Nyuwun sewu ibu, badhe nyuwun pirsa?
4)      Dadi anak iku kudu mbangun turut marang wong tuwa lan guru.

Tembung
Teges Sekawit
Teges Saiki
Bapak
Sisihane ibu / bojone ibu
Kabeh wong kang wis pantes kasebut bapak senajan isih enom
Ibu
Sisihane bapak
Kabeh wong wadon kang wis pantes kasebut ibu senajan isih enom
Sedulur
Wong tunggal bapak lan ibu
Kabeh wong kang pantes kasebut sedulur
Anak
Putra saka bapak lan ibu
Kabeh bocah senajan dudu anake dhewe

Kapetik saka Buku Basa Jawa Kelas XII Tahun 2012

Nulis Tembang Macapat


      Nulis Tembang Macapat
Tembang iku minangka salah sawijining karya sastra utawa seni sastra kang mujudake kabudayan tradhisional mungguhing masarakat Jawa, kang wis mbalung sungsum. Tembang iku ewone basa kang pinathok (puisi) kang kapurba ing lagu.
Pamacane ing tembang iku kanthi lagu. Kang mangkene supaya surasane ukara bisa rimesep ing ati, endahing rakitane bisa tumanem ing rasa.
Apresiasi tembang macapat iku bisa ditegesi nggatekake utawa ngamat-amati maknane lan menehi pambijen (penilaian). Tembang kang wis rinakit iku bisa dionceki isine kanthi ngematake lan ngerteni tembung-tembung kang ana ing tembang kasebut.
Gatekna tembang macapat ing ngisor iki !
Dhandhanggula
 Ngaku dadi gegendhunging bumi
Sumbar-sumbar obrol
Cubriya takabur wae
Angkuhe kumalungkung
Ngaku kendel ngungkul-ungkul
Ngungkuli wong sapraja
Iku nora mungguh
Ngadatake wong kang mangkana
Mung samono kewala katog ing pambudi
Prapteng don liron kamal

Kapetik saka Buku Basa Jawa Kelas XII Tahun 2012

Ukara Pitakon


Ukara Pitakon
Ukara pitakon utawa kalimat tanya yaiku ukara kang isine awujud pitakonan. Ukara iki racake migunakake tembung pitakon apa, piye, pripun, kados pundi, sinten, sapa, pira, pinten, ing ngendi, wonten pundi, cobi, kapan, lan kala punapa. Ukara pitakon bisa kapilah-pilah dadi kaya ing ngisor iki.
a.       Ukara pitakon lumrah
Tuladha :
Ø  Omahmu ing ngendi?
Ø  Saiki wis jam pira?
Ø  Paramasastra kuwi apa ta tegese?
b.      Ukara pitakon kang ora perlu wangsulan (ukara retoris)
Tuladha :
Ø  Kesandhung kuwi apa lara ta, Kang?
Ø  Sapa sing ora kepingin munggah ing kelas iki?
Ø  Iki ta daleme Pak Teguh?
c.       Ukara pitakon paminta
Tuladha :
Ø  Piye yen leren dhisik?
Ø  Saumpama klambi kuwi diwenehake adhimu piye, Ndhuk?
Ø  Kowe mathuk apa ora yen saiki awake dhewe besanan?

Kapetik saka Buku Basa Jawa Kelas XII Tahun 2012

Ukara Pakon


Ukara Pakon
Ukara pakon (kalimat perintah) uatawa imperative yaiku ukara kang surasane awujud pakon utawa perintah marang wong liya supaya nindakake sawijining bab utawa pakaryan kaya kang dikarepake sing ngongkon. Wujude ukara pakon iku warna-warna, yaiku kaya ing ngisor iki.
a.       Ukara pakon lumrah
Tuladha :
Ø  Ndang ombenen !
Ø  Awas sing ati-ati !
Ø  Wis enggal garapen !
b.      Ukara pakon pamenging
Tuladha :
Ø  Kowe ora kena dolan yen durung sinau !
Ø  Aja rame-rame simbah nembe sare !
Ø  Aja mangan ing ngarep lawang !
c.       Ukara pakon pangajak
Tuladha :
Ø  Awake dhewe saiki leren dhisik !
Ø  Ayo padha mampir nggonku dhisik !
Ø  Sadurunge kawiwitan ayo padha dungo !
d.      Ukara pakon panantang
Tuladha :
Ø  Antemen yen pancen kowe wani !
Ø  Maraa rene yen nyata-nyata dhugdheng !
Ø  Gage balangen yen wani jaluk benjut sirahmu !
e.       Ukara pakon paminta
Tuladha :
Ø  Mbok kowe kuwi mengko dolan menyang omahku !
Ø  Dhik, tulung jendelane ditutup wae !
Ø  Aku dakdolan nyang omahmu, nanging disuguh, ya !

Kapetik saka Buku Basa Jawa Kelas XII Tahun 2012